when is your birthday?

Pernah lupa? Sering? Kalau gw, sebenarnya agak jarang. Tapi gw pernah lupa semua pin ATM gw. Hahahahaha…

Gw juga sering lupa ultah teman-teman gw. Bahkan, gw terkenal menjadi orang terakhir yang ngucapin selamat ultah ke teman-teman baik gw. Teman yang baik ga dinilai dari apakah dia ingat ultah lu atau ga kan? *alasan*

Tapi gw ingat ultah seluruh anggota keluarga gw; keluarga inti tentunya. Gw juga ingat ultah si pacar.

Lucunya, si pacar punya masalah dengan ingatan. Dia selalu lupa dimana terakhir kali meletakkan kacamata, handphone, kunci, dan lainnya. Mungkin karena faktor U. Hahahaha… Dia juga tidak ingat ultah anggota keluarganya. Dia bahkan tidak ingat ultah gw. Padahal, kan sudah pernah rayain ultah sama-sama. *sigh*

Jadi inilah yang terjadi di suatu hari Sabtu:

Me: Lu tau ga gw ultah kapan?
Him: Tau dong! (dengan nada yang sangat yakin dan pede)
Me: Tanggal berapa hayo?
Him: 27 Februari! Bener kan? (dengan semangat)
Me: (terawa sekenceng-kencengnya)
Him: Salah ya?
Me: Menurut lu? (masih ketawa)
Him: Atau tanggal 19 Februari ya?
Me: (ketawa lagi)
Him: Salah ya cien?
Me: Ya… menurut lu? Yakin? (masih sambil ketawa)
Him: Akh, mana mungkin salah… Pasti lah tanggal 27 itu. (kekeuh)
Me: Gw kan sudah ketawa… Pasti salah lah…
Him: Masa salah? Jadi tanggal berapa?
Me: Hayo lu…
Him: Ayolah cien… Jadi tanggal berapa?

———

Ps: I love him and I remember his birthday. Though he can’t remember mine, I know he loves me šŸ™‚

Leave a comment

Filed under episodes

Mobil Malaysia di Mata Seorang Indonesia

Selama seminggu lebih di Malaysia, sejauh mata memandang, hanya ada mobil… mobil… dan mobil lagi….

Sama seperti Jakarta, mobil menjadi alat transportasi utama di Malaysia. Tidak seperti Singapura, masyarakat bisa memilih apakah ingin menggunakan Mass Rapid Trasnportation (yang biasa disingkat MRT), bis, atau taksi. Kalau di Malaysia, pilihan utamanya adalah taksi.

Memang, Malaysia memiliki kereta api yang dikenal dengan monorail. Akan tetapi, seperti bus TransJakarta di Jakarta, monorail ini tidak bisa diakses di semua wilayah Malaysia. Sebut saja, Kota Damansara tempat saya menetap seminggu ini. Di sini, pilihannya hanya taksi. Pasalnya, untuk naik bis, kita harus naik dari bus station yang letaknya jauh dari tempat tinggal.Ā  Negara Upin-Ipin ini pun juga tidak memiliki mikrolet atau angkot atau metro mini yang bisa disetop kapan saja dan dimana saja.

Ternyata, sebagian besar warga Malaysia memang memilih mobil sebagai kendaraan mereka. Berdasarkan website ini, rasio kepemilikanmobil di Malaysia itu 8:1. Jadi, artinya dari delapan orang Malaysia, ada satu orang yang memiliki mobil. Angka ini cukup tinggi dibandingkan Indonesia, yang hanya 34:1. Kalau di Indonesia, berarti dari 34 orang, hanya ada satu saja yang punya mobil.

Seperti dikutip dari kantor berita AFP (19/1/2011), penjualan mobil di Indonesia sebenarnya memperingati peringkat kedua untuk negara ASEAN; kalah dari Thailand. Sedangkan Malaysia sendiri menduduki peringkat ketiga. Total penjualan mobil di Thailand sendiri mencapai 800.357 unit. Sedangkan Indonesia mencatatkan penjualan 764.710 unit, dan Malaysia 605.156 unit.

Menurut saya pribadi, penjualan mobil di Malaysia dan Indonesia tidak bisa dibandingkan. Salah satu alasannya karena wilayah dan penduduk. Malaysia dengan luas wilayah 329,847 km persegi dan dihuni 27,5 juta penduduk. Sedangkan Indonesia (yang memiliki lebih dari 10 ribu pulau), mempunyai wilayah seluas 1,919,440 km persegi, dengan jumlah penduduk 241 juta. Akibatnya, kalau dilihat dari rasio penjualan mobil dibandingkan dengan jumlah penduduk, Malaysia punya tingkat penjualan yang lebih tinggi, yaitu sekitar 0.02. Angka ini cukup tinggi dibandingkan Indonesia yang hanya 0.0003%.

Di bekas negara jajahan Inggris ini, tidak mengherankan ada begitu banyak mobil. Kalau melihat keluar, jalan-jalan sangat lebar. Beda dengan Jakarta, yang kadang-kadang hanya muat satu mobil saja (dan diperparah dengan angkot tentunya), kalau di Malaysia, rata-rata jalan raya bisa dilalui tiga mobil dan masih ada sedikit space di kiri-kanan jalan. No wonder kalau mereka memilih mobil sebagai kendaraan utama. Lalu kenapa tidak memilih motor? Yang notabene lebih kecil dan bisa nyelip-nyelip seperti di Jakarta?

Ternyata, jika dibandingkan dengan Indonesia, harga motor di Malaysia, jauh lebih mahal daripada di Indonesia. Rata-rata, harga motor di Malaysia senilai RM 6 ribu – RM 7 ribu (Rp18 juta – Rp21 juta – dengan kurs Rp3.000).Ā  Cukup mahal bukan? Dengan harga setinggi itu, di Indonesia, masyarakat sudah bisa membeli motor yang ukuran “moge”.

Akibatnya, rasio kepemilikan motor di Malaysia pun cukup rendah. Seperti dikutip dari website duniaindustri, rasio kepemilikan motor di Indonesia cukup tinggi, dibandingkan negara ASEAN lainnya. Jika Indonesia delapan banding satu, kalau Malaysia hanya 3 banding satu. Sedangkan rasio kepemilikan motor di Singapura lebih rendah lagi, yaitu 32 banding satu, dan Thailand 4 banding satu.

Selain didukung dengan jalanan yang lebar-lebar (bahkan saya tidak bisa membedakan yang mana jalan tol dan yang mana jalan highway), tidaklah heran jika mereka memilih mobil sebagai kendaraan. Harga mobil di Malaysia pun didukung sepenuhnya oleh pemerintah setempat, terutama mereka yang menggunakan produksi dalam negeri. Harga mobil di Malaysia sendiri, menurut saya cukup terjangkau. Mereka sendiri tampaknya senang memilih mobil dengan ukuran kecil atau sejenis sedan. LIhat saja di parkiran dan di jalanan. Pasti rata-rata, mobilnya sejenis Karimun, Hyundai Atoz dan sejenisnya. Jarang ada yang menggunakan mobil Kijamg, Innova, atau jenis mobil APV yang bisa memuat banyak penumpang.

Untuk harga sendiri, contohnya mobil Proton Savvy. Harganya sekitar RM 33 ribu (Rp99 juta – dengan perhitungan kurs Rp3.000). Badningkan dengan mobil Toyota Innova 2.0 G (M), harganya bisa mencapai hingga RM 103 ribu (sekitar Rp309 juta – dengan kurs Rp3.000). Sedangkan di Indonesia, dengan tipe yang sama, hanya Rp245 juta. Jadi mobil lokal cukup murah bukan?

Pajak Mobil

Ternyata negara Commonwealth ini sangat mendukung pembuatan mobil lokal. Di negara ini, ada dua mobil lokal, yaitu Proton (Perusahaan Otomobil Nasional) dan Perodua (Perusahaan Otomobil Kedua Sendirian Berhad). Kedua perusahaan ini sahamnya dimiliki pemerintah (BUMN).

Seperti dikutip dari sini, pemerintah mengenakan pajak kendaraan bermotor yang cukup tinggi untuk mobil non-lokal kepada produsen. Umumnya, mereka membagi mobil menjadi dua kategori, yaitu CBU (completely built-up) dan CKD (Completely Knock Down). Artinya, mobil yang masuk kategori CBU ini adalah mobil yang secara utuh diimport. Sedangkan mobil yang dirakit di Malaysia akan disebut CKD. Mobil yang tergolong ke dalam CKD ini adalah mobil-mobil yang komponennya bisa saja diimport, tetapi tetap dirakit di Malaysia, atau mobil-mobil buatan Malaysia sendiri (seperti Proton dan Perodua). Mobil CKD sendiri memiliki keuntungan lebih banyak dibandingkan mobil CBU dari segi pajak. Perbandingan antara mobil CKD dan CBU cukup besar, sekitar 1:3 untuk pajak import.

Pengenaan pajak import ini pun dibagi lagi menjadi passenger cars, 4WD dan MPVs, serta mobil jenis van. Ke semua kategori ini juga dibagi lagi dalam kapasitas cc mobil (dibawah 1800 cc;Ā  ukuran 1,800 – 1,999 cc; ukuran 2,000 – 2,499 cc; dan diatas 2,500 cc). Untuk melihat persentase lengkap keseluruh kategori pun bisa diakses di sini: Malaysia Automotive Association.

Akibat berbagai pajak yang dikenakan ini, terutama tingginya pajak ke mobil jenis CBU, maka dipastikan mempengaruhi harga mobil di sana. Oleh sebab itulah, sebagian besar warga Malaysia memilih menggunakan produk lokal, yang didukung pemerintah lewat kebijakan pajak import ini.

Tidak hanya itu saja, Malaysia juga memberlakukan pajak kendaraan bermotor yang tidak terlalu tinggi (dan tidak ada pembayaran STNK lagi lho). Ini dikenal dengan road tax atau dalam bahasa Melayunya, Kadar Lesen Kenderaan Motor (LKM).

Dibayar per tahun, besaran pajak tergantung pada kapasitas (cc) mobil tersebut. Contohnya,mobil dengan kapasitas 16001 hingga 1800 cc, dikenakan road tax RM 200 (sekitar Rp600 ribu – dengan kurs Rp3.000). Perhitungan pajak ini hanya dikhususkan pada mobil kendaraan pribadi. Sedangkan untuk milik perusahaan, atau diluar kategori itu,sudah tersedia tabel perhitungan pajaknya untuk setiap jenis mobil. Jadi, tidak perlu susah-susah menghitung, dan ga ditipu (that’s the point).

Lengkapnya pun bisa diakses ke laman Road Transport Department-nya Malaysia. Mungkin Samsatnya kali ya šŸ˜€

Hal berbeda terjadi di Indonesia. Tampaknya perhitungan pajak kendaraan bermotor (PKB) tergantung di masing-masing daerah. Kalau untuk DKI Jakarta, didasarkan pada Perda Nomor 4 Tahun 2003 Tentang Pajak Kendaraan Bermotor / PKB Untuk Ruang Lingkup Wilayah Provinsi DKI Jakarta. Perhitungannya pun menurut saya, cukup membingungkan buat saya yang awam ini (baca: ga punya mobil).Ā DPP PKB (Dasar Pengenaan Pajak Pajak Kendaraan Bermotor) berdasarkan perda tersebut adalah perkalian antara nilai jual kendaraan bermotor dengan bobot yg mencerminkan secara relatif kadar kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor bukan umum dikenakan 1,5%, dan 1% untuk kendaraan umum (silahkan dihitung sendiri pajak masing-masing ya).Ā  Bukan hanya pajak saja yang harus dibayarkan ke pemerintah, pengguna kendaraan bermotor di Indonesia juga harus mnegeluarkan uang untuk pembuatan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).

Selain mendukung produksi lokal, ternyata Malaysia juga mendukung penggunaan mobil ramah lingkungan. Sejak 31 Desember 2010, dan diperpanjang hingga 31 Desember 2011, Malaysia membebaskan bea masuk unutk mobil hybrid dan hanya mengenakan cukai 50% saja. Cihuy juga ya?

Info ga penting:

  1. Sejak tahun 2006 hingga 2010, Perodua menjadi perusahaan paling sukses dalam menjual mobil di Malaysia. Tapi, untuk tengah tahun pertama pada 2011 ini, Proton berhasil menyalip Perodua.
  2. Setelah mengakuisisi Lotus Group dengan memegang saham 63.75%, Proton ikut dalam ajang F1, bekerjasama dengan Renault. Kerjasama dalam ajang F1 ini akan berakhir pada 2017.
  3. Malaysia melarang kendaraan bermotor yang berasal dari Israel dan Afrika Selatan.
  4. Jika masyarakat membeli mobil non-Proton atau non-Perodua dan seharga di atas RM 40 ribu (Rp120 juta – dengan kurs Rp3.000), maka mereka harus memberikan DP 25% dari harga mobil, dan harus dilunasi dalam empat tahun.

Leave a comment

Filed under Uncategorized

rumput tetangga

Posting this, far from home…

Selalu ada pepatah, bahwa rumput tetangga lebih hijau daripada rumput di pekarangan rumah sendiri. Padahal, kenyataannya, rumput tetangga itu lebih hancur daripada rumput rumah sendiri.

Contohnya saya. Sekarang saya sedang berada di negara yang memproduksi mobil Proton. Sudah seminggu saya di negara ini, dan masih akan berada di sini hingga tiga minggu ke depan.

Memang, saya tidak tinggal di pusat kota (ibukota) negara ini, yang biasanya disingkat KL. Saya tinggal di Kota Damansara. Ya, kalau diitilahkan, saya tinggal di Serpong dan juah dari Jakarta.

Baru seminggu di sini, saya sudah kangen Jakarta (Indonesia). Percayalah, overall, saya belum menemukan hal yang menyenangkan di sini yang bisa dinikmati di Jakarta. Eh, ada sich beberapa. Tapi, sepertinya kalau harus dibandingkan dengan hal-hal yang akan saya keluhkan berikut, ga nutup deh…

Jadi, di negara ini, hal pertama yang saya notice adalah bahwa jalan rayanya lebar-lebar. Rata-rata, mereka membuat jalan menjadi tiga jalur. Tapiiiii…. itu ga ngaruh… Karena, at rush hour, tetep aja macetnya sama seperti Jakarta. Hal ini diperparah dengan “gaya” nyetir mereka. Mereka suka banget nyetir dengan ngebut. Kalau di Jakarta, rasanya orang-orang jarang ngebut (atau karena memang ga bisa ngebut karena macet?). Apalagi di Singapura…. Hiks… Rasanya negara ini ga ada apa-apanya. Akibat mereka yang sering ngebut itu, kita jadi agak susah kalau mau menyebrang jalan. Memang sichtraffic lights nya merah. Tapi tetep aja kendaraan yang dari kanan (yang ga kena traffic lights) tetep nyerobot sesuka hati mereka. Karena kita bawa baby selama jalan, kita jadi lebih more carefully.

Oh iya, bukan hanya itu saja. Saya sekarang tinggalnya di Kota Damansara yang notabene jauh dari pusat kota. Akibatnya, kita ga bisa tuh kemana-mana dengan monorail atau bus-bus. Kita pun memilih taksi. Taksinya aja jelek banget. Sembilan dari 10 taksi yang sudah saya naiki, itu semuanya hancur dan bau. Hancur dalam artian seperti ga terurus.

Itu sich taksinya doank. Keadaan diperparah dengan supir-supirnya. Kadang-kadang, pas lagi beruntung, kita dapet taksi yang dikemudikan orang lokal (orang Melayu). Rata-rata mereka baik. Ga aneh-aneh lah. Yang paling parah adalah kalau supir takisnya adalah orang India. Sorry…

Supir-supir India ini suka banget “menipu”. Menipu dalam artian mereka mengaku tahu tujuan kita, tapi mereka sebenarnya ga tahu. Kadang-kadang mereka juga suka charge harga diatas rata-rata. Bahkan beberpa hari yang lalu, saat kita on the way ke Mid Valley, kita naik taksi dengan supir orang lokal. Namanya Pak Darwis. Orangnya baik banget. Dia pun mengakui, kalau delapan dari 10 orang India yang supir taksi itu suka menipu. Dia pun memperingatkan kita supaya hati-hati. Dia juga suggest supaya kita memesan taksi lewat telepon atau membeli kupon kalau di mall-mall gitu. Memang sich harganya jadinya lebih mahal sekitar 2-3 RM. Tapi, katanya, mahal sedikit tidaka apa-apa, selama mereka ga bakalan bisa menipu kita. That’s the point!

Kalau ga dapet supir taksi India, maka kita akan mendapatkan supir taksi ga sopan. Mereka dengan santainya menelpon sambil menyetir. Urghh… Saya paling ga tahan dengan yang satu ini. Masalahhnya, saat mereka menelpon, mereka jadi kehilangan konsentrasi saat menyetir. Seperti waktu itu, saat pulang dari Sunway, taksinya terpaksa memutar hanya gara-gara dia kebablasan akibat menelpon dan cara nyetirnya yang ngebut.

Itu sich dari transportasi… Saya pikir, dengan tinggal di kota besar, toilet-toiletnya termasuk bersih. Contohnya di Jakarta (sebagai ibu kota negara). Kalau kita ke mall-mall, toiletnya pasti bersih banget. Bahkan kalu ke Bandung, toilet-toilet di factory outlet bisa dibilang cukup bersih. Tapi, kalau di sini… OH MY GOD!!!

Mereka biasanya membagi toiletnya menjadi dua; yang jongkok dan yang duduk. Untuk toilet yang duduk, joroknya minta ampun. Ada sisa tissue di dalam toilet (sorry). Toiletnya juga tidak bisa di-flush. Terkadang ada bekas sepatu di dudukan toiletnya. Sedangkan untuk toilet jongkok, sama joroknya. Lantainya basah, dan bau pesing menyengat. Dan kondisi toilet semacam ini umum banget ditemui di mall-mall; yang notabene merupakan tempat umum yang seharusnya bersih kan?

Yah begitulah… Rumput tetangga kelihatannya doank lebih hijau… Kenyataannya? Rumputnya lebih kotor dan ga sehat dibandingkan rumput rumah sendiri….

Leave a comment

Filed under Uncategorized

where is the love?

Beberapa hari belakangan, saya mendapati beberapa teman yang merencanakan pernikahan. Memang sudah lama beberapa teman membicarakan rencana-rencana pernikahan mereka. Tapi, ada salah satu teman dekat saya yang akan segera melaksanakan pernikahan tahun ini.

Selamat ya teman-teman! *peluk*

Anyway, saat mengobrol dengan teman saya itu (sebut saja oknum A), mulailah ia bercerita tentang rencana pernikahannya tahun ini.
“Yang namanya merit itu mahal,” ujarnya dalam satu conference bersama seorang teman lainnya.

Definisi mahal itu tentu menjadi sangat subjektif. Kenapa?
Alasannya klasik. Karena definisi mahal itu akan tergantung pada kemampuan ekonomi orang per orang.

Sayangnya, momen membahagiakan ini, yang katanya sekali seumur hidup (padahal banyak juga yang berkali-kali), sepertinya disalahgunakan, dikomersialkan. Lihat saja bagaimana mahalnya sewa gedung. Padahal hanya dipakai beberapa jam saja. Tidak hanya itu saja. Ada lagi yang lain, seperti kue, foto, video, makanan, perhiasan, dan lainnya.

Contohnya teman saya ini, ia dan pasangannya rela mengeluarkan Rp160 juta hanya untuk menyewa sebuah aula gedung di daerah Jakarta Barat. Ya, benar! Rp160 juta!!!

Oh, biaya pernikahan tentu saja tidak hanya gedung. Teman saya yang katanya belum membeli cincin kawin itu pun mulai bercerita tentang ia dan pasangannya yang akan membeli cincin kawin di sebuah mall di daerah Jakarta Barat. Awalnya, ia mengaku tertarik dengan sepasang cincin berlian yang harganya benar-benar di luar perkiraan saya. Ia pun meminta saya dan teman saya yang masih di dalam confrence untuk menebak hrag cincin yang dicobanya itu. Harganya Rp40 juta, ujarnya, setelah kami berdua tak bisa menebak harga cincin yang diinginkannya.

Teman saya pun hanya memberikan ikon dengan wajah terbelalak. Saya pun hanya menghela napas membaca tulisan di layar komputer saya.

Ia dan pasangannya pun menolak membeli cincin itu.
“Tapi mantep lho,” imbuhnya memuji cincin berlian itu.

Akhirnya pilihan pun dijatuhkan ke sepasang cincin yang harganya setengah dari cincin sebelumnya. Teman saya yang berada di conference yang sama (sebut saja B), pun menanyakan kenapa si A tidak mencari cincin di toko perhiasan yang biasa. Dengan ketusnya, A menjawab bahwa cincin tersebut akan digunakan seumur hidupnya. Apakah ia mau cincin yang melambangkan cinta dua insan itu terkelupas, atau rusak?

Si B, yang saya yakini menjawab lirih, “iya sich.”

Akh, ternyata keterikatan dua manusia dalam sebuah ikatan pernikahan sangat penting ditunjukkan dengan cincin berlian seharga Rp20 juta.

Padahal si B sempat bercerita tentang kakaknya yang juga membeli cincin pernikahan berlian dan mahal, tapi berakhir di meja perhiasannya. Alasannya, Jakarta tidak aman, apalagi ia harus pergi bekerja dengan bis kota.

Coba saja bayangkan berapa banyak uang yang dikeluarkan teman saya, si A itu untuk menggelar pesta pernikahannya. Setidaknya Rp200 juta sudah dikeluarkan hanya untuk sewa gedung, cincin pernikahan, dan foto pre-wedding. Belum termasuk catering makanan, sewa baju dan make-up, sewa mobil, dan hal-hal kecil lainnya lho.

Saya pun tak menampik, bahwa saya juga berpikir, bahwa pernikahan adalah sesuatu yang mahal. Saya yang sekarang ini pengangguran, belum memikirkan pernikahan. Alasannya, ya karena mahal itu šŸ™‚

Saya pun heran, sejak kapan pernikahan menjadi sesuatu yang sangat mahal di Indonesia? Kenapa semua aspek dalam pernikahan diuangkan? Bukankah yang terpenting adalah bagaimana kehidupan setelah pernikahan? Rumah tangga seperti apa yang akan dibangun? Bagaimana menghadapi pribadi yang awalnya tak serumah, kemudian harus hidup bersama-sama untuk seumur hidupnya? Berapa banyak anak yang diinginkan? Bagaimana soal penghasilan, rumah, pendidikan anak? Yang saya yakini, yang harus dipikirkan tidak hanya itu saja. Masih ada sejuta, bahkan mungkin beratus-ratus juta hal lainnya.

Saya tidak tahu, bagaimana resepsi pernikahan menjadi sesuatu yang luar biasa mahalnya. Padahal, saya yakini, uang yang dikeluarkan lebih baik digunakan untuk sejumlah hal lainnya usai pernikahan.

Saya paham, kenapa mereka mau mengeluarkan uang hingga beratus-ratus juta untuk pesta yang hanya digelar beberapa jam saja. Pasangan-pasangan itu selalu beralasan, karena ini adalah pesta sekali seumur hidup. Mereka pun rela merogoh kocek dalam-dalam hanya untuk menjadi pangeran dan putri dalam sehari.

Saya pribadi pun mengagumi model pernikahan ala Amerika. Pernikahan sederhana dengan hanya mengungang kerabat. Tak banyak memang. Mereka yang hadir juga tidak perlu ke salon untuk mem-blow rambut dan make-up yang heboh, seperti keluarga di Indonesia (termasuk keluarga saya). Semua simple! Bahkan tak ada cerita harus mengenakan cincin berlian atau betapa mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menggelar sebuah pesta. Dan tentunya, tak ada yang mengeluhkan soal agama (sekalian curcol neh).

Pernikahan tentunya adalah bersatunya dua insan dalam satu ikatan. Resepsi hanyalah satu bagian dari bentuk kebahagiaan pasangan dan keluarganya. Sudah seharusnya, semua pihak ikut serta dalam pesta cinta ini, bukan “merampoknya”. Memberikan berbagai kemudahan, karena Adam akhirnya bertemu dengan “tulang rusuknya” dalam wujud seorang perempuan.

Toh Cinderella dan Putri Salju tak memakai cincin berlian kan? šŸ˜€

Leave a comment

Filed under Uncategorized

eksistensi di dunia maya

Seorang teman menulis status di sebuah jejaring sosial,

“Facebook itu #pencitraan dan Twitter itu #sebenarnya.”

Hm…

Saya tidak mengerti, atas dasar apa analogi itu keluar. Saya pun dengan “gatalnya” memberikan komentar atas pernyataan itu. Saya pun bertanya ke pemilik akun, apakah dia yang sedang melakukan pencitraan? Memangnya Pak Beye? Saya tidak merasa seperti itu tuh (seperti pernyataannya).

Ia pun membalas, bahwa ia menemukan, banyak orang yang lebih apa adanya jika bermain twitter. Tapi kalau FB tidak digunakan sebagai pencitraan, juga tidak apa-apa.

Lalu analogi itu keluar atas dasar apa?

Saya pun kembali berkomentar lagi, kalau memang mau apa adanya, lebih baik di dunia nyata. Bukan di FB atau twitter. Iya kan?

Saya sungguh sangat menyayangkan sikap teman saya ini. Apakah kita sudah tidak mementingkan kehidupan nyata lagi, sehingga akan menjadi lebih baik menjadi “nyata” di twitter atau jejaring sosial lainnya?

Saya lebih memilih menjadi apa adanya, sebenarnya, dan nyata di dunia, daripada saya dianggap hanya “sebenarnya” atau “apa adanya” di dunia maya saja.

Saya pun merasa kasihan kepada teman saya itu. Dia perlu jejaring sosial seperti FB atau twitter untuk menjadikan dirinya “sebenarnya”.

Tidak hanya itu saja, saya juga kasihan melihat dia begitu mengagung-agungkan twitter. Twitter pun sudah disalahfungsikan, termasuk saya (dengan jujur saya mengakuinya).

Twitter diciptakan karena “perputaran” informasinya yang cepat, terutama dengan fasilitas “retweet”. Saya dulu membuat account twitter karena dianjurkan seorang rekan kerja. Katanya supaya cepat mengikuti pergerakan berita-berita media massa online. Saya, yang pada saat itu bekerja sebagai wartawan pun merasa hal tersebut sangat berguna. Saya pun mem-follow beberapa media massa online. Dan saya akui memang saya terbantu dengan “keeksisan” mereka di twitter.

Akan tetapi, saat ini, twitter penuh sekali dengan kata-kata atau informasi tidak penting. Contohnya malam ini (16/6). Muncul di timeline beberapa teman yang saya follow, #describeyourboyfriendpeniswithamovietitle

Come on people! Describe ur bf penis? Do you have sex already? Are you sure that your boyfriend has penis? *nyolot*

Tapi toh saya tidak terlalu perduli. Mungkin mereka memang sedang ingin mendeskripsikan penis pacarnya. Toh itu bukan urusan saya.

Saya pun juga kasihan kepada mereka yang menganggap “apa adanya” mereka, perlu hadir dengan jejaring sosial. Saya banyak mengenal orang-orang yang tidak mempunyai account facebook atau twitter, dan bahkan keduanya. Dan kenyataannya, mereka hadir dan nyata, dan apa adanya dalam hidup saya. Contoh: nenek saya (karena orangtua saya sudah punya account facebook).

Apa karena dia tidak punya facebook atau twitter, lalu dia bukan pribadi yang apa adanya?

Karakter twitter yang hanya 140 karakter pun bisa menjadi ancaman tersendiri, karena ada kemungkinan plagiat di sana, tanpa perlu atau berusaha mengutip empunya tulisan. Apa itu yang diagung-agungkan dan pribadi sebenarnya?

Akh, mungkin twitter memang merupakan alat pembuka topeng-topeng plagiat.

Saya pun langsung teringat pesan Bapak Paus Benedictus XVI untuk peringatan Hari Komunikasi Sedunia ke-45 yang jatuh beberapa pekan lalu. Dalam pesannya, Paus menyampaikan bahayanya dunia maya yang menciptakan “pencitraan palsu”, “interaksi sepihak”, dan lainnya.

Otensitas pribadi-pribadi pun harus diwaspadai dalam “berjalan-jalan” di dunia maya ini.

Berikut kutipan pesan Bapak Paus:
“Pada sisi lain, hal ini (teknologi informasi) diperhadapkan dengan keterbatasan-keterbatasan yang khas dari komunikasi digital:Ā  interaksi sepihak, kecenderungan mengkomunikasikan hanya sebagian dari dunia batin seseorang, resiko pencitraanĀ  palsuĀ  seseorangĀ  yang dapat menjadi suatu bentukĀ  kepuasanĀ  diri sendiri.

Masuk ke dalam ruang maya dapat menjadi tandaĀ  pencarian yang otentikĀ  akan perjumpaan pribadi dengan orang lain, asalkan tetap tanggap terhadap bahaya seperti menyertakan diri dalam sejenis eksistensi ganda atau menampilkan diri secara berlebihan di dalam dunia maya. Dalam upaya berbagi dan mencari “teman”,Ā  terdapat tantanganĀ  untuk menjadi otentik dan setia dan tidak menyerah kepada ilusiĀ  untuk mencitrakan tampang publik yang palsu bagi diri sendiri.”

Oh, mungkin karena itu, mereka lupa kalau mereka sedang di dunia maya?

Selamat berselancar!

Leave a comment

Filed under Uncategorized

nikah beda agama = ?

Jadi hari ini (10/6), gw dan si pacar membicarakan soal agama. Pembicaraan dimulai dari cerita sepupu gw. Intinya dia dan istrinya beda agama. Istrinya yang Islam rela mengikuti agama sepupu gw, yaitu Buddha.

Gw sempet bilang sama sepupu gw saat dia mengantarkan gw pulang ke rumah.
“Bilang lah sama dia. Ini untuk supaya ada surat doank koq. Nanti kalau dia masih mau sembahyang Islam, ya ga apa2.”

Tapi menurut sepupu gw, calonnya tak masalah mengikuti agama dia. Baiklah… Itu bukan urusan gw lagi.

Gw pun bercerita ke pacar tentang kasus sepupu gw ini. Si pacar pun langsung bilang,
“Agama itu mengkotak-kotakkan kita. Jangan mau seperti itu.”
Maksudnya seperti calonnya sepupu gw itu.

Gw pun menjawab, “Jadi gimana dong? Indonesia kan tidak mengenal pernikahan beda agama. Kita aja beda.”

Dia pun menjawab, “Artis aja banyak yang nikah beda agama.”

Akhirnya, ia pun mengusulkan agar kami segera mengubah KTP kami berdua dengan agama yang sama saat memperpanjang KTP. Tetapi, saat gw bertanya, KTP siapa yang akan mengikuti agama siapa, ia belum menjawab. Ia juga mengusulkan agar kami melakukan dua kali pernikahan di dua tempat ibadah.

Tadi gw juga sempat googling perihal persyaratan pernikahan. Ini adalah salah satu jawaban dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta di website mereka.

“Sesuai dengan UU No.1 tahun1974 tentang Perkawinan dan PP No.9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta hanya dapat mencatatkan perkawinan bagi mereka yang telah melangsungkan perkawinan secara agama selain agama Islam, sedangkan KUA mencatatkan perkawinan yang beragama islam. Artinya baik Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil maupun KUA baru dapat mencatatkan perkawinan jika telah disahkan oleh suatu agama. Bahkan pasal 35 UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan penjelasannya, mengatur bahwa bila ternyata yang hendak mencatatkan perkawinan beda agama harus dengan penetapan pengadilan.”

Gw pun bertanya dalam hati… Agama adalah hubungan saya dengan Tuhan, yang selalu saya percayai sebagai hubungan vertikal. Hubungan saya dengan si pacar, atau siapapun juga dalam kehidupan ini, adalah hubungan horizontal.

Lalu, hanya karena saya berbeda agama, kami tidak bisa menikah?

Tuhan selalu mengajarkan cinta kasih. Dalam Kitab Suci, juga tidak disebutkan, saya tidak boleh menikah dengan yang agamanya berbeda. Lalu, karena negara, lalu saya harus merelakan KTP saya ditulis agama yang bukan saya anut?

Apakah saya harus membohongi Tuhan?

Saya pun ingat dengan cerita seorang wartawan senior olahraga yang saya kenal. Pak Agus namanya. Ia bercerita tentang ia yang menikahi sang istri, dan mereka berbeda agama. Setelah menikah, mereka pun menjalani kembali agamanya masing-masing.

Katanya saat itu, “Negara saja sering membohongi kita. Apa salahnya kita membohongi negara?”

Saya pun sekarang bertanya, “Saya ini sebenarnya membohongi Tuhan atau negara?”

Leave a comment

Filed under Uncategorized

somewhere, sometime, some-me

So, I can not stop listening to this song today…

I’ve given my blackberry to the office yesterday. Such a long story to tell. And I feel good giving away the phone. I appreciate what we have been through (caileeeeee). But, probably it’s the best way to enjoy the leaving-office-thingy.

For sure, I enjoy myself reachable not too easy, not opening fb page all the time, or twittering all the time. I am enjoying my time, listening to songs, watching dvds, watching television, or chatting at lapppie šŸ™‚

And I feel so grateful have given away the phone… I am grateful I still can hug him, kissing him, and telling him how much I love him. Not only that, I still feel close with my friends, listening to their stories, and happy or sympathize for them… And most of all, I have my families around. How much I love them…

And I feel so grateful that day, after I give away the phone. I know probably it has no connection. But, hey, who cares?

Ps: I like this version… Because I feel for accoustic right now šŸ™‚ and for “babi putih”, I miss u a lot… be good ya :*

Leave a comment

Filed under Uncategorized

sweetest goodbye!

Setelah bekerja sejak 1 Juli 2009 di perusahaan itu, akhirnya gw tidak lagi bekerja setelah menjalani hari terakhir 5 April 2011.

Seharusnya, hari terakhir gw itu 15 April 2011. Tapi, setelah gw menegcek sisa cuti yang tersisa 9 hari, gw pun memutuskan untuk menggunakannnya, dan menghabiskannya. Jadi pas gw hitung-hotung, pas lah itu 5 April menjadi hari terakhir. Mendadak memang menggunakan cuti itu, karena jujur, gw sudah sangat tidak betah menjalani ari-hati gw belakangan.

Salah satu alasannya, karena asisten redaktur gw yang menurut gw, belakangan konyol. Mulai dari tidak mengijinkan gw ke HRD, sampai cuekin gw. So, I think, they don’t need me anymore.

Kemarin (6/4), gw sempet sms beberapa narasumber paporit gw seama gw bekerja. Beberapa di antaranya adalah Mendagri Gamawan Fauzi dan Dirjen Otda Djoehermansyah Djohan. Pak menteri menanyakan alasannya, dan bertanya boleh kan main ke rumah. Akh si bapak… Kalau bapak main ke rumah, jalan di depan rumah langsung bagus pak!

Jujur, gw sempet menitikkan air mata. Pak Djoe yang langsung menelpon gw, terdengar menyayangkan kepergian gw. I wish it’s easy, eventually it’s not. Dia adalah salah satu narasumber yang sangat gw kagumi. Dia pintar! Figurnya yang sangat kebapakan, gw suka banget… Probably I miss dad too much.

Pak Djoe pun langsung bertanya kenapa gw harus meninggalkan kantor. Dia bilang, gw sudah cukup bagus, dan tempat gw bekerja bisa menjadi batu loncatan. Ya… gw mengakui, bahwa kantor gw cukup bagus (walaupun ga bagus-bagus amat). Gw belajar banyak. Tapi, kadang ada hal-hal yang tak bisa terhindarkan. We have to choose.

Pak Djoe langsung bilang, akan mengontak bupati Tanjung Jabung Barat . Hahahaha… See, he is a nice man! He’s just the best!

Gw menangis setelah menutup telepon.

Setelah mengirimkan sms ke beberapa narasumber, gw pun mengirimkan email ke teman-teman liputan dan mengirimkan pesan ke grup BBM teman-teman kantor. Menyatakan kepergian. Beberapa sudah tahu akan kepergian gw, tapi gw yakin, akan lebih proper, gw membuat pernyataan resmi (caileee).

The hardest part of this part is leaving those good people. Gw belum kangen kantor. Tapi, gw sudah kangen teman-teman di lapangan dan narasumber-narasumber yang biasa diwawancarai. Mereka yang membuat “ini” berat.

Tapi, gw snagat berterima kasih kepada mereka, yang membuat perjalanan ini berarti. Membuat gw belajar banyak. Berlajar menulis, bertanya, mencari tahu, kritis, menjawab, menjelaskan, sabar, pengertian, perhatian, dan masih banyak lainnya yang gw pelahari. Gw juga sangat berterima kasih atas persahabatan yang terjalin. Tawa yang dibagi, lelucon, dan lainnya. Akh, hal-hal seperti ini yang akan selalu gw kangenin.

—–

Hari ini, menjadi hari kedua tidak bekerja… Gw memang tidak menulis lagi seperti pekerjaan sebelumnya. Tapi, gw mengatakan kepada diri gw sendiri, bahwa paling tidak, gw berkomitmen akan tetap menulis.

Probably, I am good, not very good actually. But, I am trying…

Probably, I could start writing about those good people…

Leave a comment

Filed under Uncategorized

you are somebody!

You are somebody in someone’s life. You are not nobody. You are somebody! Whether you are a lover, a daughter, a sister, a friend. You are somebody in someone else’ life. Yes, you are….

—–

Jadi terkadang, kita tidak menyadari, betapa berharganya kita bagi orang lain.

Contohnya saya, khusus untuk hari ini.

Si pacar tampaknya sedang memiliki sejuta masalah di kantor. Sedangkan saya, sedang resah gundah gulana karena si kakak masuk rumah sakit.

Saat bertemu di mall favorit, tak banyak yang saya lakukan sebenarnya. Masih sempat mengetik berita, saya bercerita tentang keadaan si kakak. Saya juga banyak tersenyum, dan mengatakan kepadanya bahwa saya belum ingin pulang. Padahal mall sudah mau tutup. Karena setiap kali mall tutup di hari kerja, saat itulah menandakan pertemuan kami berakhir di situ saja. Makan malam di Pepper Lunch, dan mampir ke Hero, saya sungguh tak ingin malam berakhir.

Menagih pelukannya setiap kali bertemu, ia hanya tersenyum. Sempat mengenggam tangan saya dengan erat, saat saya duduk di belakangnya di atas motor. Saya tahu, ia juga merasakan hal yang sama.

Sungguh, saya tak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Tapi saya yakin, semua akan baik-baik saja.

Di akhir malam, ia menuliskan statusnya di jejaring sosial:

Seeing your face today…really gave me a lot of strength…thanx a lot dear…. šŸ™‚

Saya pun sadar. “Ada” untuknya, tersenyum untuknya, tertawa untuknya, menggenggam erat tangannya, memeluknya, menyandarkan kepala ini di bahunya, menatap matanya, bercerita untuknya, dan semuanya, ternyata malah menguatkan dirinya.

Padahal, saat itu, saya lah yang sedang dikuatkan. Ia mendengarkan cerita saya, beban pekerjaan saya, cerita keluarga saya, dan segudang hal lainnya. Ia “ada” untuk saya.

Dan atas semua kekuatan yang kami bagikan, saya mengucapkan rasa syukur yang luar biasa… Terima kasih yang luar biasa dan besar untuk segalanya….

Leave a comment

Filed under Uncategorized

wedding?

Setting: di mobil… on the way ke daerah Pasar Baru

Papan iklan di kiri jalan: Mega Wedding Expo whatever di PRJ Kemayoran

——-

Dia: Tuh ada pameran wedding lagi… Bulan Maret ini ya? *sambil liat*

Gw: Oh ya? Kapan? (dalam hati: sudah sering liat tu papan iklan)

Dia: Di PRJ tuh. Tu bulan depan (Maret). Untuk persiapan tahun depan kali ya.Ā  *dgn nada excited*

Gw: Iya ya…. Kenapa? Lu mau pergi?

Dia: *silent*

—— Beberapa menit kemudian ——-

Gw: Eh, bla bla bla *beralih topik*

 

—— End of The Story ——

Leave a comment

Filed under episodes