Selama seminggu lebih di Malaysia, sejauh mata memandang, hanya ada mobil… mobil… dan mobil lagi….
Sama seperti Jakarta, mobil menjadi alat transportasi utama di Malaysia. Tidak seperti Singapura, masyarakat bisa memilih apakah ingin menggunakan Mass Rapid Trasnportation (yang biasa disingkat MRT), bis, atau taksi. Kalau di Malaysia, pilihan utamanya adalah taksi.
Memang, Malaysia memiliki kereta api yang dikenal dengan monorail. Akan tetapi, seperti bus TransJakarta di Jakarta, monorail ini tidak bisa diakses di semua wilayah Malaysia. Sebut saja, Kota Damansara tempat saya menetap seminggu ini. Di sini, pilihannya hanya taksi. Pasalnya, untuk naik bis, kita harus naik dari bus station yang letaknya jauh dari tempat tinggal.Ā Negara Upin-Ipin ini pun juga tidak memiliki mikrolet atau angkot atau metro mini yang bisa disetop kapan saja dan dimana saja.
Ternyata, sebagian besar warga Malaysia memang memilih mobil sebagai kendaraan mereka. Berdasarkan website ini, rasio kepemilikanmobil di Malaysia itu 8:1. Jadi, artinya dari delapan orang Malaysia, ada satu orang yang memiliki mobil. Angka ini cukup tinggi dibandingkan Indonesia, yang hanya 34:1. Kalau di Indonesia, berarti dari 34 orang, hanya ada satu saja yang punya mobil.
Seperti dikutip dari kantor berita AFP (19/1/2011), penjualan mobil di Indonesia sebenarnya memperingati peringkat kedua untuk negara ASEAN; kalah dari Thailand. Sedangkan Malaysia sendiri menduduki peringkat ketiga. Total penjualan mobil di Thailand sendiri mencapai 800.357 unit. Sedangkan Indonesia mencatatkan penjualan 764.710 unit, dan Malaysia 605.156 unit.
Menurut saya pribadi, penjualan mobil di Malaysia dan Indonesia tidak bisa dibandingkan. Salah satu alasannya karena wilayah dan penduduk. Malaysia dengan luas wilayah 329,847 km persegi dan dihuni 27,5 juta penduduk. Sedangkan Indonesia (yang memiliki lebih dari 10 ribu pulau), mempunyai wilayah seluas 1,919,440 km persegi, dengan jumlah penduduk 241 juta. Akibatnya, kalau dilihat dari rasio penjualan mobil dibandingkan dengan jumlah penduduk, Malaysia punya tingkat penjualan yang lebih tinggi, yaitu sekitar 0.02. Angka ini cukup tinggi dibandingkan Indonesia yang hanya 0.0003%.
Di bekas negara jajahan Inggris ini, tidak mengherankan ada begitu banyak mobil. Kalau melihat keluar, jalan-jalan sangat lebar. Beda dengan Jakarta, yang kadang-kadang hanya muat satu mobil saja (dan diperparah dengan angkot tentunya), kalau di Malaysia, rata-rata jalan raya bisa dilalui tiga mobil dan masih ada sedikit space di kiri-kanan jalan. No wonder kalau mereka memilih mobil sebagai kendaraan utama. Lalu kenapa tidak memilih motor? Yang notabene lebih kecil dan bisa nyelip-nyelip seperti di Jakarta?
Ternyata, jika dibandingkan dengan Indonesia, harga motor di Malaysia, jauh lebih mahal daripada di Indonesia. Rata-rata, harga motor di Malaysia senilai RM 6 ribu – RM 7 ribu (Rp18 juta – Rp21 juta – dengan kurs Rp3.000).Ā Cukup mahal bukan? Dengan harga setinggi itu, di Indonesia, masyarakat sudah bisa membeli motor yang ukuran “moge”.
Akibatnya, rasio kepemilikan motor di Malaysia pun cukup rendah. Seperti dikutip dari website duniaindustri, rasio kepemilikan motor di Indonesia cukup tinggi, dibandingkan negara ASEAN lainnya. Jika Indonesia delapan banding satu, kalau Malaysia hanya 3 banding satu. Sedangkan rasio kepemilikan motor di Singapura lebih rendah lagi, yaitu 32 banding satu, dan Thailand 4 banding satu.
Selain didukung dengan jalanan yang lebar-lebar (bahkan saya tidak bisa membedakan yang mana jalan tol dan yang mana jalan highway), tidaklah heran jika mereka memilih mobil sebagai kendaraan. Harga mobil di Malaysia pun didukung sepenuhnya oleh pemerintah setempat, terutama mereka yang menggunakan produksi dalam negeri. Harga mobil di Malaysia sendiri, menurut saya cukup terjangkau. Mereka sendiri tampaknya senang memilih mobil dengan ukuran kecil atau sejenis sedan. LIhat saja di parkiran dan di jalanan. Pasti rata-rata, mobilnya sejenis Karimun, Hyundai Atoz dan sejenisnya. Jarang ada yang menggunakan mobil Kijamg, Innova, atau jenis mobil APV yang bisa memuat banyak penumpang.
Untuk harga sendiri, contohnya mobil Proton Savvy. Harganya sekitar RM 33 ribu (Rp99 juta – dengan perhitungan kurs Rp3.000). Badningkan dengan mobil Toyota Innova 2.0 G (M), harganya bisa mencapai hingga RM 103 ribu (sekitar Rp309 juta – dengan kurs Rp3.000). Sedangkan di Indonesia, dengan tipe yang sama, hanya Rp245 juta. Jadi mobil lokal cukup murah bukan?
Pajak Mobil
Ternyata negara Commonwealth ini sangat mendukung pembuatan mobil lokal. Di negara ini, ada dua mobil lokal, yaitu Proton (Perusahaan Otomobil Nasional) dan Perodua (Perusahaan Otomobil Kedua Sendirian Berhad). Kedua perusahaan ini sahamnya dimiliki pemerintah (BUMN).
Seperti dikutip dari sini, pemerintah mengenakan pajak kendaraan bermotor yang cukup tinggi untuk mobil non-lokal kepada produsen. Umumnya, mereka membagi mobil menjadi dua kategori, yaitu CBU (completely built-up) dan CKD (Completely Knock Down). Artinya, mobil yang masuk kategori CBU ini adalah mobil yang secara utuh diimport. Sedangkan mobil yang dirakit di Malaysia akan disebut CKD. Mobil yang tergolong ke dalam CKD ini adalah mobil-mobil yang komponennya bisa saja diimport, tetapi tetap dirakit di Malaysia, atau mobil-mobil buatan Malaysia sendiri (seperti Proton dan Perodua). Mobil CKD sendiri memiliki keuntungan lebih banyak dibandingkan mobil CBU dari segi pajak. Perbandingan antara mobil CKD dan CBU cukup besar, sekitar 1:3 untuk pajak import.
Pengenaan pajak import ini pun dibagi lagi menjadi passenger cars, 4WD dan MPVs, serta mobil jenis van. Ke semua kategori ini juga dibagi lagi dalam kapasitas cc mobil (dibawah 1800 cc;Ā ukuran 1,800 – 1,999 cc; ukuran 2,000 – 2,499 cc; dan diatas 2,500 cc). Untuk melihat persentase lengkap keseluruh kategori pun bisa diakses di sini: Malaysia Automotive Association.
Akibat berbagai pajak yang dikenakan ini, terutama tingginya pajak ke mobil jenis CBU, maka dipastikan mempengaruhi harga mobil di sana. Oleh sebab itulah, sebagian besar warga Malaysia memilih menggunakan produk lokal, yang didukung pemerintah lewat kebijakan pajak import ini.
Tidak hanya itu saja, Malaysia juga memberlakukan pajak kendaraan bermotor yang tidak terlalu tinggi (dan tidak ada pembayaran STNK lagi lho). Ini dikenal dengan road tax atau dalam bahasa Melayunya, Kadar Lesen Kenderaan Motor (LKM).
Dibayar per tahun, besaran pajak tergantung pada kapasitas (cc) mobil tersebut. Contohnya,mobil dengan kapasitas 16001 hingga 1800 cc, dikenakan road tax RM 200 (sekitar Rp600 ribu – dengan kurs Rp3.000). Perhitungan pajak ini hanya dikhususkan pada mobil kendaraan pribadi. Sedangkan untuk milik perusahaan, atau diluar kategori itu,sudah tersedia tabel perhitungan pajaknya untuk setiap jenis mobil. Jadi, tidak perlu susah-susah menghitung, dan ga ditipu (that’s the point).
Lengkapnya pun bisa diakses ke laman Road Transport Department-nya Malaysia. Mungkin Samsatnya kali ya š
Hal berbeda terjadi di Indonesia. Tampaknya perhitungan pajak kendaraan bermotor (PKB) tergantung di masing-masing daerah. Kalau untuk DKI Jakarta, didasarkan pada Perda Nomor 4 Tahun 2003 Tentang Pajak Kendaraan Bermotor / PKB Untuk Ruang Lingkup Wilayah Provinsi DKI Jakarta. Perhitungannya pun menurut saya, cukup membingungkan buat saya yang awam ini (baca: ga punya mobil).Ā DPP PKB (Dasar Pengenaan Pajak Pajak Kendaraan Bermotor) berdasarkan perda tersebut adalah perkalian antara nilai jual kendaraan bermotor dengan bobot yg mencerminkan secara relatif kadar kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor bukan umum dikenakan 1,5%, dan 1% untuk kendaraan umum (silahkan dihitung sendiri pajak masing-masing ya).Ā Bukan hanya pajak saja yang harus dibayarkan ke pemerintah, pengguna kendaraan bermotor di Indonesia juga harus mnegeluarkan uang untuk pembuatan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).
Selain mendukung produksi lokal, ternyata Malaysia juga mendukung penggunaan mobil ramah lingkungan. Sejak 31 Desember 2010, dan diperpanjang hingga 31 Desember 2011, Malaysia membebaskan bea masuk unutk mobil hybrid dan hanya mengenakan cukai 50% saja. Cihuy juga ya?
Info ga penting:
- Sejak tahun 2006 hingga 2010, Perodua menjadi perusahaan paling sukses dalam menjual mobil di Malaysia. Tapi, untuk tengah tahun pertama pada 2011 ini, Proton berhasil menyalip Perodua.
- Setelah mengakuisisi Lotus Group dengan memegang saham 63.75%, Proton ikut dalam ajang F1, bekerjasama dengan Renault. Kerjasama dalam ajang F1 ini akan berakhir pada 2017.
- Malaysia melarang kendaraan bermotor yang berasal dari Israel dan Afrika Selatan.
- Jika masyarakat membeli mobil non-Proton atau non-Perodua dan seharga di atas RM 40 ribu (Rp120 juta – dengan kurs Rp3.000), maka mereka harus memberikan DP 25% dari harga mobil, dan harus dilunasi dalam empat tahun.